-->

Iklan

Dekan FH UPN Veteran Jakarta: Pembahasan Norma RUU KIA Jangan Setengah Hati

Senin, 04 Juli 2022, Juli 04, 2022 WIB Last Updated 2022-07-04T14:41:05Z

 


B1, Jakarta | Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan (FH UPN) Veteran Jakarta, Dr. H. Abdul Halim, M.Ag mengapresiasi terkait RUU KIA yang telah diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi. 

Menurut Halim RUU KIA merupakan implementasi dari amanat UUD 1945. “Perlu diapresiasi langkah progresif DPR tersebut. Kami juga mendorong, agar RUU KAI dibahas melaui mekanisme yang mesti disesuaikan dengan peraturan yang berlaku, dan jangan pula setengah hati,” sebut Abdul Halim, di Jakarta, Senin (4/7).   

Halim kemudian mengatakan, sejumlah model norma yang berlaku di sejumlah negara, dapat menjadi bahan kajian dalam penyusunan RUU KIA. “Perlunya DPR didorong agar dalam menuangkan norma pada RUU KIA tidak setengah hati,” jelasnya.

Lebih lanjut Doktor Hukum Keluarga ini menyebut bahwa dalam Pasal 28B ayat (1) secara tegas konstitusi memberi perhatian secara khusus tentang hak anak dalam memperoleh kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak mendapat pelrindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 

“Sedangkan di Pasal 28H ayat (1) dikaitkan dengan kesejahteraan secara umum termasuk ibu dan anak di dalamnya,” tambah dia.

Terkait dengan norma dalam RUU KIA, Halim mengusulkan sejumlah gagasan agar keberadaan RUU KIA ini tidak setengah hati. Menurut dia, keberadaan RUU KIA menjadi momentum keberpihakan negara untuk memberikan hak-hak ibu dan anak dalam memberi kesejahteraan. 

“Kami mendorong jangan setengah hati dalam merumuskan norma untuk kepentingan kesejahateraan ibu dan anak,” tambah Ketua Badan Koordinasi Fakultas Hukum PTN Wilayah Barat.

Persoalan cuti melahirkan, juga menjadi usulan Halim agar dilakukan cuti secara berjenjang dengan kualifikasi, seperti saat melahirkan anak pertama  diberikan fasilitas cuti maksimal selama 6 (enam) bulan. 

“Untuk melahirkan anak pertama harusnya memperoleh fasilitas tunjangan melahirkan serta asupan gizi baik untuk ibu maupun anak. Sedangkan anak kedua dengan fasilitas cuti tiga bulan, juga diberi fasilitas tunjangan melahirkan dan tambahan gizi dan susu untuk ibu dan anak. Utuk yang melahrkan  anak ketiga, cuti tiga bulan dengan tanpa tunjangan cuti dan tetap mendapatkan uang gizi dan susu bagi ibu dan anak ,” rinci Halim mencontohkan.

Gagasan tersebut, menurut Halim mengadopsi norma yang terjadi di sejumlah negara yang membagi dengan tiga kelompok. Kelompok pertama yang memberikan cuti minimal atau lebih enam bulan. Kelompok kedua, negara yang mengatur maksimal cuti tiga bulan. Kelompok ketiga, cuti di bawah dua bulan antara 52 sampai 42 hari. 

“Di Croasia misalnya, kelompok pertama 406 hari, disusul Albania, Australia, UK, Bosnia Herzegovina, Serbia, Montenegro masing-masing 365 hari, Norwegia 322 hari, Bulgaria 227 hari dan Republik Crezh 196 hari dan masing-masingnya tetap mendapat gaji selama cuit melahirkan,” sebut Halum.

Dia berharap keberadaan RUU KIA ini dapat memberi aspek pengawasan lebih konkret saat pemberlakuannya kelak. Ia mencontohkan masalah keberadaan Pasal 32 PP No 33 Tahun 2012 tentang Air Susu Ibu Eksklutif yang menyebutkan kewajiban tempat bekerja menyiapkan ruang laktasi bagi ibu untuk menyusui buah hatinya. 

“Nyatanya pemenuhan hak ASI eksklusif di kalangan ibu bekerja masih jauh panggang dari api. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial kurang mendukung para ibu bekerja untuk memberikan ASI. Sehingga hal itu memberi dampak negatif bagi ibu bekerja itu sendiri maupun anaknya,” ungkap Halim.

Kemudian, Halim juga menyebut, ruang publik belum ramah bagi ibu menyusui. “Akibatnya tidak sedikit ibu menyusui memompa ASI di tempat yang tak layak,” pungasnya. (asy-/GN)

Komentar

Tampilkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terkini