Indahnya alam di Pasir Puntang, yang merupakan bukit tertinggi di kabupaten Bekasi (Poto Nenden Hernika) |
Oleh : Nenden Hernika *)
Bukit itu bernama Pasir Puntang. Pasir dalam Bahasa Sunda adalah bukit. Konon dinamakan Pasir Puntang, karena di sana ada sebuah situs bersejarah yang menjadi kebanggaan Kabupaten Bekasi, yaitu situs Mbah Puntang.
Saat ini saya tidak menulis tentang Pasir Puntang. Saya ingin mengenang keberadaan sebuah kampung di balik Pasir Puntang, yaitu Kampung Madupati. Kisah ini pun ditulis berdasarkan pengalaman dan apa yang saya lihat sejak pertama kali saya bertugas di Bojongmangu, tahun 1993 hingga sekarang.
Nama Madupati memiliki makna yang beberapa orang menafsirkan berbeda. Ada yang mengatakan bahwa dahulu di tempat itu pernah terjadi pertempuran sengit (beradu) dan banyak memakan korban nyawa (pati).
Namun, umumnya masyarakat sekitar mengartikan nama Madupati adalah sari pati yang manis, mengingat kampung tersebut adalah kampung yang subur dan masyarakatnya sama sekali tidak pernah kekurangan sandang pangan.
Kampung itu memang terpencil, masuk wilayah Desa Bojongmangu Kecamatan Bojongmangu Kabupaten Bekasi, namun saat itu hampir jarang terjamah, karena letaknya yang berada di balik bukit, susah dilewati oleh kendaraan, bahkan oleh motor atau sepedah sekalipun.
Karena masuk wilayah Bojongmangu, hampir seluruh anak dari Madupati bersekolah ke Kertasaba, ke SD tempat saya mengajar,yang kini menjadi SDN Bojongmangu 03, karena di Madupati sendiri belum ada sekolah (jumlah penduduk kurang dari 80 KK).
Bagamana kegigihan anak-anak Madupati saat sekolah? Layaknya anak-anak pedalaman, mereka pergi dari rumah pukul lima subuh (kadang pukul setengah lima), berjalan rombongan melintasi bukit, tiba di sekolah pukul enam atau setengah tujuh. Mereka sudah tiba di sekolah justru di saat kami para guru belum datang.
Saya yang saat itu tinggal di perumahan darurat sekolah, sering malu karena mereka datang saat kami masih belum mandi. Konon mereka berangkat bersama dengan orang tuanya yang pergi ke sawah di pagi buta, lalu berpisah di persimpangan. Orang tua ke sawah, anak-anak ke sekolah.
Tak ada anak yang berpisah dengan teman satu kampung. Mereka pasti saling menunggu, meskipun beda kelas. Saat anak kelas satu sampai tiga sudah pulang pukul 10 dan kelas 6 pulang pukul 12, anak kelas satu pasti menunggu. Kenapa? Karena mereka tak ada yang berani pulang sendiri.
“Sieun aya bagong,” (takut ada babi hutan. Red) demikian saat ditanya kenapa belum pulang.
Tak ada anak yang diantar jemput oleh orang tuanya, mengingat orang tua umumnya harus mengolah sawah atau kebun, baik ayah ataupun ibu.
Sungguh, perjuangan dalam menuntut ilmu yang luar biasa.
Saya sering menitikkan air mata untuk mereka, dan sering memaklumi saat anak jarang masuk sekolah. Memaklumi saat mereka tak mengenakan sepatu, dengan kaki yang lurik dan kotor, mereka tetap belajar.
Pernah suatu saat saya pergi bertandang ke Madupati, bermaksud menyusul anak yang berbulan tidak masuk sekolah dan subhanallah, capeeee luar biasa jalan ke sana. Untungnya dibarengi oleh suami dan saat itu kami masih pengantin baru, misua masih mau dan kuat menggendong saat saya kelelahan. (wkwkwk…)
Mata pencaharian penduduk Madupati umumnya petani yang sangat polos. Keterpencilannya membuat anak-anak jarang yang melanjutkan sekolah. Bisa lulus SD adalah hal yang luar biasa. Kalaupun ada yang melanjutkan ke SMP, anak Madupati bersekolah ke SMP Pangkalan, sekolah yang masuk ke wilayah Karawang dan untuk tiba di sana, mereka harus menyeberangi sungai Cibeet, sungai yang menjadi batas wilayah antara Karawang dan Bekasi. Dan anak yang lulus SMP, bisa dihitung dengan jari.
Polosnya penduduk Madupati, sebanding dengan kesederhanaan hidupnya. Sebagai petani penggarap, mereka memiliki berpuluh karung padi, tapi mereka berpakaian lusuh. Hasil panen yang melimpah, tak dijadikannya hidup boros, mereka menjual padi saat mahal, dan dibelikan emas. Emas tersebut lambat laun bertambah, lalu dibuat untuk membeli lagi sawah. Sebuah investasi yang bagi orang kampung adalah investasi yang menjanjikan.
Mereka hemat dalam hidup, namun tak pelit saat membayar uang sekolah. Dulu saat masih ada iuran BP3, orang tua Madupati pasti akan membayar lunas satu tahun di awal ajaran baru. Meskipun kami sudah menjelaskan agar lebih baik membayar dicicil tiap bulan, mereka tetap memilih melunasi, “Supaya teu bulak-balik ka sakola, Bu, pan jauh, soalnya jauh jongjon lamun geus lunas mah” (supaya tidak pulang pergi ke sekolah, soalnya jauh, dan supaya lebih tenang jika iuran sekolah sudah lunas), red. demikian alasan mereka, membuat kami para guru kagum sekaligus tersenyum bahagia.
Kesederhanaan dan kepolosan warga Madupati terus berlangsung puluhan tahun. Mereka hidup sederhana namun sejahtera, tentram tak banyak tuntutan, hingga ketika kampung lain sudah ada listrik di sana bertahun tak bisa masuk listrik karena jauhnya jangkauan tiang, tak membuat mereka mengeluh.
Penerang saat itu hanya menggunakan lampu cempor dan yang termasuk mewah adanya bantuan listrik tenaga surya, itu pun hanya beberapa titik. Bagi mereka, gelapnya rumah di malam hari justru membuat mereka nyenyak tidur setelah seharian bekerja. Pun jalan yang sulit dilalui kendaraan bagi mereka justru merasa lebih tenang, karena tak ada pencuri yang berani masuk kampung Madupati.
Terpencilnya kampung Madupati padahal ada di wilayah Bekasi sebagai kabupaten penyangga ibukota, pernah menarik perhatian wartawan sebuah televisi. Ada anak Madupati yang diikutkan acara “Si Bolang”, sebagai anak yang gigih belajar meski jarak ke sekolah jauh, dan hanya menggunakan lampu cempor untuk belajar.
Ah, bahagianya kami, karena anak kampung bisa masuk televisi, bahkan kru televisi itu datang ke sekolah, minta ijin untuk mengajak anak-anak yang syuting itu untuk jalan-jalan ke Jakarta. Dan yang lebih menggembirakan, tak lama setelah tayangan itu, listrik pun masuk Madupati, Alhamdulillah.
Namun, belum juga genap dua tahun warga menikmati terangnya listrik di malam hari, sebuah berita mengejutkan datang, mengusik ketenangan. Bak mendengar petir di siang bolong, kami semua sangat terkejut. “Kampung Madupati, termasuk Pasir Puntang harus dibebaskan, karena akan dibangun sebuah pabrik besar, yaitu PT. Jui Shin Indonesia!” PT Jui Shin adalah perusahaan besar yang melebarkan sayap dalam memproduksi semen.
Konon dipilihnya Madupati sebagai lokasi pabrik karena Pasir Puntang memiliki kandungan batu yang bagus untuk bahan baku semen. Selain itu, karena letaknya yang berbatasan dengan Karawang dimana di sana pun ada sebuah wilayah yang mengandung kapur (Kampung Pakapuran Kecamatan Pangkalan), sehingga perusahaan bisa dengan mudah mengambil bahan baku.
Apakah warga menerima? Tentu saja tidak. Mereka menolak, tak ada yang setuju. Mereka bertahan, tak mau pindah. Namun apalah arti dari pemberontakan warga, apalah arti dari tangisan rakyat, jika semua sudah diputuskan? Apalagi ketika tokoh kampungnya sendiri lama kelamaan bersedia menandatangani, maka rakyat lain pun tak berdaya. Hingga akhirnya, sekuat apapun mereka bertahan, tahun 2012, seluruh warga Madupati terusir dari tanah leluhurnya.
Seiring dengan perginya warga Madupati, maka dibangunlah pabrik semen tersebut. Sebuah pabrik yang dari tahun ke tahun selalu bertambah bangunannya. Tanah yang dibebaskan pun sangat luas, 254 Hektar.
Warga Madupati sendiri pergi ke bermacam wilayah. Ada yang ke Karawang, tapi kebanyakan pindah ke masih wilayah Bojongmangu. Untuk kepindahannya, warga diberi kompensasi berupa tanah kapling masing-masing 200 meter persegi serta biaya memindahkan rumah sebesar 10 juta rupiah bagi yang punya lahan, sedangkan bagi yang tidak punya lahan sebesar 8 juta rupiah.
Itu hanya kompensasi memindahkan rumahnya saja, sedangkan pembayaran tanah lain lagi. Harga tanah pun berbeda-beda, untuk tanah yang dipakai rumah 50.000/meter, agak ke luar beda lagi, pun demikian dengan harga sawah, bervariasi harganya, dari yang harga 18.000 sampai yang harga 25.000/meter persegi.
Menerima uang gusuran yang lumayan besar dari hasil penjualan tanah, membuat warga benar-benar kaget. Kaget dan seolah tak percaya harus pergi meninggalkan kampung halaman, sekaligus kaget karena selama ini mereka tak pernah memegang uang banyak. Jangankan memegang, melihat pun sepertinya tak pernah. Mereka limbung, bahkan ada yang mengaku stress, mau diapakan uang sebanyak itu? Hari Minggu lalu, saya sengaja menghubungi seorang Bapak warga Madupati yang saat ini pekerjaannya masih bertani.
“Abdi sadarna sanggeus duit béak, Bu!” kata bapak B, saat ditanya bagaimana perasaan ketika menerima uang. (saya sadarnya setelah uang habis, Bu!)
“Lha kunaon, dipaké poya-poya?” (Lha kenapa, dipakai poya-poya?)
“Ah, dipaké poya-poya henteu da, ngan asa kumaha mah harita, asa ngimpi. Ayeuna karak sadar, uing geus teu di ditu deui,” katanya dengan wajah sedih.
Ketika ditanya apakah kepemilikkan lahan atau sawah sekarang dibandingkan dengan lahan atau sawah di Madupati lebih luas atau malah lebih sempit, bapak B menjawab lebih sempit.
“Bagaimana bisa lebih luas, Bu, harga tanah yang dibeli kan lebih mahal dari harga gusuran.” katanya.
“Kenapa ga mencari yang lebih murah?”
“Di mana aya taneuh nu leuwih murah, Bu? Komo ieu cacak uing pindah ka nu leuwih kota, biongna gé nyahoeun uing boga duit jeung butuh taneuh mah kalah singdarangong, ngahaja naraékkeun harga. Nu beunghar mah nya boing wéh, di ditu ngala untung di dieu ngala untung,” (biong adalah istilah untuk calo tanah).
Bapak B juga mengaku kalau penghasilan sawah sekarang kurang dari penghasilan dari sawah dahulu, karena kesuburan tanahnya yang kurang. “Kukumaha gé tanah Madupati mah moal aya duana, keur mah cai babari deuih,” katanya kembali mengenang kampungnya dahulu.
Bojongmangu, 10 Januari 2023
NH
Keterangan *) : Penulis adalah guru SDN Bojongmangu 03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar